Didalam teorinya Michael
Fuocalt tentang konsep kekeuasaan yang bahwasannya ilmu pengetahuan merupakan
sumber kuasa atau kebenaran yang bisa menentukan kedisiplinan dan memberikan
hukuman bagi yang disalahkan oleh kekuasaan (The Archeology of Knowledge,
Discipline and the Punish).
Teori Michael Fuocalt ini
bisa kita gunakan untuk berkuasa maupun menguasai dengan cara memperkaya ilmu
pengetahuan yang ada dalam diri kita, namun teori Michael Fuocalt ini belum
lengkap jika ingin memperkuat kekuasaan, sebab teori ini hanya berfokus pada
ilmu pengetahuan saja sedangkan jika kita masuk pada ranah sosiologi maka kita
harus menggunakan konsep dasar sosiologi pula yaitu berinteraksi, dengan
berinteraksi kekuasaan yang didapat akan lebih kuat pengaruhnya dan teori Ibnu
Khaldun lah yang saya anggap mampu melengkapi konsep kekuasaan Michael Fuocalt.
Ibnu Khaldun lahir di
Tunisia, Afrika Utara 27 Mei 1332 (Faghirzadeh, 1982), lahir dari keluarga
terpelajar, Ibnu Kahldun dimasukkan ke sekolah Al-Qur’an, kemudian mempelajari
matematika dan sejarah. Semasa hidupnya ia membantu berbagai Sultan di Tunisia,
Maroko, Spayol dan Aljazair sebagai duta besar, bendaharawan dan anggota dewan
penasihat Sultan. Ia pun pernah di penjarakan selama 2 tahun di Maroko karena
keyakinannya bahwa penguasa negara bukanlah pemimpin yang mendapatkan kekuasaan
dari Tuhan. Setelah kurang lebih dua dekade aktif di bidang politik. Ibnu
Khaldun kembali ke Afrika Utara. Di situ ia melakukan studi dan menulis secara
intensif selama 5 tahun itu meningkat kemasyhurannya dan menyebabkan ia
diangkat menjadi guru di pusat studi Islam Universitas Al-Azhar di Kairo .
Ibnu Khaldun mempunyai
teori tentang ‘Ashabiyah yang mengandung mengandung makna Group feeling,
solidaritas kelompok, fanatisme kesukuan, nasionalisme, atau sentimen sosial, yaitu
cinta dan kasih sayang seorang manusia kepada saudara atau tetangganya ketika
salah satu darinya diperlakukan tidak adil atau di sakiti. ‘Ashabiyah ini jika
kita analisa dengan konteks kekinian maka terdapat unsur Keluarga, Keterunan,
dan Pertemanan.
Keluarga merupakan hal
yang pokok didalam memperoleh dukungan yang kuat serta keturunan merupakan
status yang menambah keberadaan yang kuat misalnya saja dalam konteks Indonesia
yaitu Darah Biru, Gus, dan lain sebagainya kemudian pertemanan, jika kita
memiliki hubungan pertemanan yang baik maka apapun yang kita lakukan akan lebih
banyak dukungannya serta menambah kekuatan yang dimiliki.
Kembali ke masalah
kekuasaan jika ingin mendapat kekuasaan maka diperlukan ilmu pengetahuan
(Michael Foucalt) sedangkan jika ingin memperkuat kekuasaan maka menggunakan
konsep ‘Ashabiyah, kemudian dalam wilayah Indonesia misalnya ingin menjadi
Presiden maka harus mempunyai ilmu pengetahuan yang tinggi seperti ekonomi,
politik, sosial, dan lain sebagainya, serta hubungan ‘Ashabiyah yang banyak
pula maka dengan konsep itu akan mendapatkan banyak koalisi serta dukungan
massa yang banyak.
Denga perpaduan antara
teori kekuasaan Michael Fuocalt dengan teori ‘ashabiyah maka akan sangat
memperkuat kekuasaan maupun memperjuangankan kekuasaan.