Kamis, 15 Januari 2015

Michael Foucalt dan Ibnu Khaldun


Didalam teorinya Michael Fuocalt tentang konsep kekeuasaan yang bahwasannya ilmu pengetahuan merupakan sumber kuasa atau kebenaran yang bisa menentukan kedisiplinan dan memberikan hukuman bagi yang disalahkan oleh kekuasaan (The Archeology of Knowledge, Discipline and the Punish).
Teori Michael Fuocalt ini bisa kita gunakan untuk berkuasa maupun menguasai dengan cara memperkaya ilmu pengetahuan yang ada dalam diri kita, namun teori Michael Fuocalt ini belum lengkap jika ingin memperkuat kekuasaan, sebab teori ini hanya berfokus pada ilmu pengetahuan saja sedangkan jika kita masuk pada ranah sosiologi maka kita harus menggunakan konsep dasar sosiologi pula yaitu berinteraksi, dengan berinteraksi kekuasaan yang didapat akan lebih kuat pengaruhnya dan teori Ibnu Khaldun lah yang saya anggap mampu melengkapi konsep kekuasaan Michael Fuocalt.
Ibnu Khaldun lahir di Tunisia, Afrika Utara 27 Mei 1332 (Faghirzadeh, 1982), lahir dari keluarga terpelajar, Ibnu Kahldun dimasukkan ke sekolah Al-Qur’an, kemudian mempelajari matematika dan sejarah. Semasa hidupnya ia membantu berbagai Sultan di Tunisia, Maroko, Spayol dan Aljazair sebagai duta besar, bendaharawan dan anggota dewan penasihat Sultan. Ia pun pernah di penjarakan selama 2 tahun di Maroko karena keyakinannya bahwa penguasa negara bukanlah pemimpin yang mendapatkan kekuasaan dari Tuhan. Setelah kurang lebih dua dekade aktif di bidang politik. Ibnu Khaldun kembali ke Afrika Utara. Di situ ia melakukan studi dan menulis secara intensif selama 5 tahun itu meningkat kemasyhurannya dan menyebabkan ia diangkat menjadi guru di pusat studi Islam Universitas Al-Azhar di Kairo .
Ibnu Khaldun mempunyai teori tentang ‘Ashabiyah yang mengandung mengandung makna Group feeling, solidaritas kelompok, fanatisme kesukuan, nasionalisme, atau sentimen sosial, yaitu cinta dan kasih sayang seorang manusia kepada saudara atau tetangganya ketika salah satu darinya diperlakukan tidak adil atau di sakiti. ‘Ashabiyah ini jika kita analisa dengan konteks kekinian maka terdapat unsur Keluarga, Keterunan, dan Pertemanan.
Keluarga merupakan hal yang pokok didalam memperoleh dukungan yang kuat serta keturunan merupakan status yang menambah keberadaan yang kuat misalnya saja dalam konteks Indonesia yaitu Darah Biru, Gus, dan lain sebagainya kemudian pertemanan, jika kita memiliki hubungan pertemanan yang baik maka apapun yang kita lakukan akan lebih banyak dukungannya serta menambah kekuatan yang dimiliki.
Kembali ke masalah kekuasaan jika ingin mendapat kekuasaan maka diperlukan ilmu pengetahuan (Michael Foucalt) sedangkan jika ingin memperkuat kekuasaan maka menggunakan konsep ‘Ashabiyah, kemudian dalam wilayah Indonesia misalnya ingin menjadi Presiden maka harus mempunyai ilmu pengetahuan yang tinggi seperti ekonomi, politik, sosial, dan lain sebagainya, serta hubungan ‘Ashabiyah yang banyak pula maka dengan konsep itu akan mendapatkan banyak koalisi serta dukungan massa yang banyak.

Denga perpaduan antara teori kekuasaan Michael Fuocalt dengan teori ‘ashabiyah maka akan sangat memperkuat kekuasaan maupun memperjuangankan kekuasaan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar